Azan, Suara Guk-guk, dan Orde Baru

oleh -464 views
Ketua PWI Kaltim, Alumni PPRA 57 Lemhannas RI , Endro S. Efendi

Oleh: Endro S. Efendi

“Tong, tong, tong, tong, tong………” Suara kentongan bersahut-sahutan dari beberapa sudut kampung. “Maliiiing….. maliiiing…..,” teriak beberapa warga kemudian. Sontak seluruh warga keluar, mencari asal suara dan segera berlari mengejar sosok yang diduga maling tadi.

Suasana seperti di atas, hampir bisa dipastikan sudah jarang lagi terlihat. Keberadaan Pos Keamanan Lingkungan (Poskamling) yang biasanya dilengkapi kentongan tadi, banyak digantikan dengan pos jaga yang ditunggu oleh sekuriti atau satpam. Ada pula yang menyebutnya dengan wakar.

Pengamanan lingkungan, berganti dengan pengamanan masing-masing. Setiap rumah berlomba-lomba memasang CCTV alias kamera pengintai. Kamera pengintai kini tidak hanya urusan keamanan. Tapi sudah bergeser pula sebagai status sosial. Boleh dikata, hanya mereka yang berpunya yang bisa memasang kamera CCTV. Tentu saja, tak merasa perlu lagi membayar iuran Poskamling tadi.

Hilangnya kentongan yang populer di masa orde baru silam, seolah menjadi tanda, lunturnya kerukunan dan kebersamaan di negara ini. Kebersamaan yang dulu begitu indah, tanpa sekat dan tanpa simbol tertentu, begitu sangat terasa.

Generasi milenial sudah disibukkan dengan gawainya masing-masing. Sementara yang dewasa, sibuk berpolitik dan berusaha mempertahankan kelompok dan identitas masing-masing. Jangankan beda agama. Satu agama saja, ribut. Masing-masing melakukan klaim paling benar dan paling layak masuk surga.
Rapuhnya kerukunan bangsa ini, satu di antaranya adalah sejak hilangnya pelajaran Pendidikan Moral Pancasila (PMP). Sebagian generasi bangsa ini, tak lagi mendapatkan penanaman norma Pancasila secara mendalam.

Apakah Pancasila lebih tinggi ketimbang agama? Tentu tidak. Agama semestinya justru menjadi filter utama dalam kehidupan berbangsa dan bernegara. Pancasila, bertindak sebagai pemersatunya. Sehingga masing-masing individu bisa saling memahami, toleransi, dan menghormati satu sama lain.

Salah satu cara efektif, agar Indonesia kembali kokoh dan kuat adalah, mengembalikan kepemimpinan seperti era orde baru dari sisi kekuatan dan kedaulatan negara. Namun, ini semua harus diawali dengan penanaman nilai-nilai Pancasila yang utuh. Sebab, mereka yang ‘anti-Pancasila’ sudah terlanjur menyusup dan ikut menjadi bagian sebagai pengelola negeri ini.

Baik di eksekutif, legislatif, yudikatif, bahkan pers sebagai pilar demokrasi, ada saja yang ‘anti-Pancasila’ dan merasa paling benar. Jika ini sudah dikembalikan ke jalurnya, disertai dengan terpilihnya presiden baru di 2024 nanti dengan kewibawaan mumpuni, yakinlah Indonesia akan kembali menjadi Macan Asia yang sangat disegani. Semoga. (*)

Penulis: Ketua PWI Kaltim, Alumni PPRA 57 Lemhannas RI

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *