Eco Enzyme, dari Sampah Organik Jadi Larutan Multifungsi

oleh -159 views
Eco enzym

ECO enzyme dari sisa bahan organik rumah tangga diklaim multifungsi, bisa dipakai sebagai pupuk organik, pestisida alami, hingga pembersih lantai. Anda tertarik membuat sendiri di rumah?

Berbagai upaya dan kampanye sampah saat ini lebih banyak digencarkan pada pengelolaan sampah plastik yang sulit terurai. Namun, bagaimana dengan sampah organik yang kebanyakan tidak diolah kembali dan berakhir di tempat pembuangan akhir atau TPA?

Menurut catatan Kinerja Pengelolaan Sampah Kementerian Lingkungan Hidup, pada tahun 2021 timbunan sampah di 207 kabupaten atau kota se-Indonesia mencapai lebih dari 25.600 ton. Sekitar 40% dari jumlah tersebut adalah sampah rumah tangga dan 29,5% di antaranya adalah sisa makanan.

Mayoritas timbulan sampah nasional pada 2022 berupa sampah sisa makanan dengan porsi 40,7 persen, sampah plastik 18 persen, kayu/ranting 13 persen, kertas atau karton 11,3 persen dan sampah lainnya 7,1 persen.

Sedangkan berdasarkan sumber timbulan sampah mayoritas sampah nasional berasal dari rumah tangga yakni 38,4 persen, pasar tradisional 27,7 persen, kawasan komersial atau industri 14,4 persen dan sumber lain ,3,2 persen.

Sebenarnya, sebelum berakhir di TPA sampah organik masih bisa diolah menjadi berbagai produk alami seperti pupuk kompos, dan bahkan eco enzyme yang belakangan mulai populer.

Berbeda dengan kompos dan bokashi yang penggunaannya terbatas sebagai pupuk, eco enzyme diklaim multifungsi. Mulai dari pupuk organik,
Jokoryanto, relawan dan salah satu pendiri komunitas Eco Enzyme Nusantara mengungkapkan bahwa cairan ini adalah hasil fermentasi dari sisa kulit buah, sayur, dan sampah organik lainnya yang dicampur dengan gula dan air. Komunitas Eco Enzyme Nusantara rutin berbagi pengetahuan tentang proses pembuatan dan pemanfaatan eco enzyme.

“Bukan sampah organik, tapi bahan organik. Karena kalau sampah sudah dibuang di TPA dan kalau pakai istilah sampah itu orang jijik. Ini masih bahan organik, bahan sisa yang tidak terpakai lagi,” kata pria yang dipanggil Joko kepada DW Indonesia.

Joko mengatakan bahwa eco enzyme ditemukan oleh seorang ahli pertanian organik dan ahli pengobatan alternatif dari Thailand bernama Dr. Rosukon Poompanvong.

“Awal mulanya Dr. Rosukon ini terlahir punya masalah kelainan darah, sejenis leukimia, dia tidak tahan dengan bahan kimia apa pun. Tapi dia bekerja di bidang pertanian dan dia merasa tidak sehat karena bahan kimia yang dipakai di pertanian. Akhirnya dia meneliti bahan alami apa yang bisa mengganti penggunaan bahan kimia tersebut,” kata pria yang memulai komunitas ini sejak 2019 lalu.

Masih cerita Joko, Rosukon awalnya melakukan penelitian untuk mencari alternatif dari bahan kimia untuk dipakai di pertanian organik. Namun ia kemudian malah menemukan cara untuk mengolah berbagai sisa bahan organik seperti kulit buah dan sayur dari limbah rumah tangga.

“Dia sengaja tidak mematenkan eco enzyme yang diteliti selama 30 tahun ini agar bisa dibuat semua orang. Harapannya semua orang bisa mengolah sisa bahan organik rumah tangganya sendiri,” ucapnya.

Apa saja klaim manfaatnya?

Dr. Arie Srihadyastutie, dosen program studi kimia di Universitas Brawijaya, Malang, mengungkapkan bahwa larutan eco enzyme terbentuk dari proses proses fermentasi fakultatif anaerob atau fermentasi yang terjadi dengan atau tanpa membutuhkan oksigen. Proses fermentasi mulai terjadi ketika mikroba yang hidup dalam sisa bahan organik mengolah gula sebagai sumber energi dan menghasilkan berbagai enzim alami.

Salah satu bakteri yang tumbuh dalam pembuatan eco enzyme adalah bakteri asam laktat yang mengubah oksigen menjadi senyawa hidrogen peroksida (H2O2). Senyawa tersebut akan bersifat toksik atau beracun pada bakteri patogen atau bakteri berbahaya yang tumbuh di larutan eco enzyme. Namun dalam dosis rendah, hidrogen peroksida juga berguna untuk desinfektan.(adv/dl/hel/dari berbagai sumber)

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *