TANJUNG REDEB,DIMENSINEWS – Praktik sunat perempuan kini dilarang, karena tidak ada alasan medis dan belum terbukti bermanfaat bagi kesehatan. Hal itu sesuai Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 28 Tahun 2024.
Kepala Dinas Kesehatan (Dinkes) Berau, Lamlay Sarie membenarkan jika dari sisi medis, memang tidak diperbolehkan melakukan sunat perempuan.
Menurutnya, untuk di Berau isu tersebut tidak terlalu dipermasalahkan. Namun, praktik sunat perempuan ini diakuinya masih ada yang melakukan di kalangan masyarakat.
“Hal ini juga menimbulkan pro dan kontra di antara masyarakat. Bahkan banyak perdebatan para ulama yang berbeda-beda,” terangnya Kamis (15/8/2024).
Dibberkannya, selama ini kegiatan sunatan massal gratis yang dilakukan Pemerintah Kabupaten (Pemkab) Berau tidak pernah ada peserta yang berjenis kelamin perempuan. Yang menjadi wajib menurut agama Islam hanya untuk laki-laki saja.
“Kami juga tidak akan menyetujui jika ada anak perempuan yang mau mendaftar untuk sunat massal, yang wajib itu khitan untuk anak laki-laki,” tegasnya.
Lebih lanjut dijelaskannya, praktik sunat perempuan ini dikhawatirkan dapat melukai daerah yang memang sensitif dan menimbulkan risiko medis yang berbahaya.
Bahkan pada beberapa kasus, ada juga yang menyebabkan berkurangnya hasrat seksual.
“Karena di area vagina wanita itu sensitif dan banyak sensor-sensor yang tidak boleh diganggu. Mengingat juga tidak ada manfaat dibalik praktik sunat perempuan,” bebernya.
Kata dia, tujuan dari regulasi baru ini juga sudah jelas, yakni untuk melindungi kesehatan reproduksi anak perempuan dari kecil hingga dewasa.
“Memang peraturan tersebut baru untuk tahun ini, tentu kami di Dinkes mengacu pada peraturan tersebut, karena itu sudah pasti ada kajiannya,” ucapnya.
Dari segi pengawasan, Dinkes Berau melalui bidan yang ada di Pusat Kesehatan Masyarakat (PKM) melakukan edukasi kepada masyarakat, jika praktik sunat perempuan itu dilarang.
Biasanya, jika ada yang meminta anak perempuannya disunat, para bidan hanya membersihkan saja siapa tahu ada cairan dari ibu yang menempel pada bayi saat baru pertama kali dilahirkan.
“Jadi tidak sampai dilukai atau bahkan dipotong,” imbuhnya
Lamlay menegaskan, adanya regulasi ini tentu untuk mengedukasi masyarakat, sehingga hal ini juga meningkatkan kesadaran akan pentingnya menjaga kesehatan reproduksi.
“Tapi jangan sampai karena tenaga kesehatan dilarang melakukan sunat perempuan, masyarakat justru akan pergi ke dukun. Itu yang kita hindari,” tuturnya.
Ditambahkan Kepala Bidang (Kabid) Pelayanan Masyarakat Dinkes Berau, Jaka, untuk sunat laki-laki sudah jelas sunat untuk menghindari penyakit.
“Tidak ada dalam dunia kedokteran yang mengajarkan kita menyunat perempuan, karena tidak ada juga indikasi penyakit kalau tidak disunat,” terangnya.
Menurutnya, masih ada kepercayaan adat tertentu yang dipercaya masyarakat harus melakukan sunat perempuan. Bahkan pada kepercayaan tertentu ada yang dipotong, membuat sensor sensitif itu hilang.
Jika dilakukan dengan dukun, dikhawatirkan akan menggores dan berdarah hingga melukai daerah sensitif seperti himen.
“Tpi sekarang pemahaman masyarakat juga sudah bergeser. Sebagian ada yang meminta penjelasan kepada bidan terlebih dahulu,” pungkasnya. (adv/kes/si)