Ketika Anak Baduy Menolak Sekolah: Kebodohan atau Kearifan?

oleh -29 views
Marliana Wahyuningrum bersama suku anak baduy

LEBAK,BANTEN — Di tengah gegap gempita modernisasi, ada satu komunitas yang teguh menjaga jarak dengan dunia luar: masyarakat Baduy Dalam. Di saat pemerintah menggalakkan program wajib belajar 12 tahun, anak-anak Baduy justru tidak mengenal sekolah formal. Mereka tak mengenakan seragam, tak pernah duduk di bangku kelas, dan tak membawa buku pelajaran.

Keputusan ini memicu perdebatan panjang: apakah anak-anak Baduy terjebak dalam keterbelakangan, atau justru sedang mempertahankan kearifan yang lebih tua daripada sekolah itu sendiri?

Belajar dari Alam, Bukan dari Buku

Bagi masyarakat Baduy Dalam, pendidikan tidak identik dengan ruang kelas. Mereka memegang teguh prinsip “ngaji ka alam, ngaji ka kolot”—belajar dari alam dan orang tua.

Anak-anak Baduy sejak kecil sudah diajarkan cara menanam padi tanpa pupuk kimia, memahami arah mata angin, membaca tanda-tanda alam, hingga menaati aturan adat yang diwariskan leluhur. Bagi mereka, pengetahuan bukanlah teori di atas kertas, melainkan praktik sehari-hari yang menjaga keseimbangan antara manusia, adat, dan lingkungan.

Takut Hilangnya Identitas

Sekolah formal, bagi komunitas Baduy Dalam, justru dianggap berbahaya. Bahasa pengantar yang digunakan adalah bahasa Indonesia, sedangkan anak-anak Baduy tumbuh dengan bahasa Sunda dialek Baduy.

“Kalau sekolah dipaksakan, anak-anak bisa lupa bahasanya sendiri, lupa adatnya,” ungkap seorang tetua Baduy. Kekhawatiran itu bukan tanpa alasan: generasi muda yang mengenal dunia luar dikhawatirkan lebih mudah meninggalkan tradisi, hingga akhirnya identitas budaya yang dijaga ratusan tahun bisa hilang hanya dalam satu generasi.

Antara Dharma dan Drama

Modernisasi di mata Baduy Dalam bukanlah kemajuan, melainkan ancaman. Mereka menolak listrik, kendaraan bermotor, gawai, dan tentu saja sekolah formal. Semua itu dianggap bagian dari “drama” modern yang membawa kerusakan lingkungan dan keterputusan spiritual.

Sebaliknya, menolak sekolah justru dilihat sebagai bentuk dharma—tugas moral menjaga adat dan harmoni alam. Dalam pandangan mereka, bertahan pada tradisi bukanlah kemunduran, melainkan pilihan sadar untuk melindungi keseimbangan hidup.

Pertanyaan untuk Kita Semua

Fenomena anak Baduy yang tidak bersekolah kerap menimbulkan pertanyaan provokatif: siapa sebenarnya yang tertinggal? Mereka yang tidak pandai membaca buku, atau kita yang terlalu yakin bahwa kecerdasan hanya bisa lahir dari bangku sekolah?

Anak-anak Baduy mungkin tak menghafal rumus matematika, tetapi mereka mewarisi ensiklopedia hidup berupa pengetahuan ekologis dan spiritual. Ilmu yang membuat mereka bisa bertahan selaras dengan hutan, sungai, dan bumi yang mereka jaga.

Pelajaran di Balik Penolakan

Bagi banyak orang, sikap Baduy terasa ekstrem. Namun di balik itu tersimpan pesan penting: pendidikan tidak tunggal. Ada banyak jalan untuk belajar, ada banyak bentuk kecerdasan.

Menolak sekolah bukan berarti menolak ilmu. Bagi anak-anak Baduy, itu adalah perlawanan untuk menjaga identitas, budaya, dan lingkungan. Dan di dunia yang semakin seragam, pilihan mereka terasa provokatif—namun mungkin, justru itulah bentuk kecerdasan yang sesungguhnya.

Penulis: Marliana Wahyuningrum
*) Pegiat dan Pemerhati Budaya

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

No More Posts Available.

No more pages to load.