DP 0%: Langkah Strategis atau Pedang Bermata Dua?

oleh -90 views
Dedy Mainata, Dosen Fakultas Ekonomi dan Bisnis Islam Universitas Islam Negeri Sultan Aji Muhammad Idris (UINSI) Samarinda .

PENGUMUMAN Gubernur Bank Indonesia (BI) Perry Warjiyo akan melanjutkan ketentuan Loan to Value/Financing to Value (LTV/FTV) kredit/pembiayaan properti paling tinggi sebesar 100% hingga Desember 2025. Memungkinkan calon pembeli properti tidak perlu membayar uang muka (Down Payment/DP) alias DP 0% saat mengambil fasilitas kredit pemilikan rumah atau apartemen (KPR/KPA).
“Kami memperkuat kebijakan makroprudensial dengan Rasio LTV/FTV properti hingga 100% dan uang muka kredit kendaraan bermotor minimal 0%, berlaku 1 Januari—31 Desember 2025, untuk mendukung pertumbuhan ekonomi yang berkelanjutan,” dikutip dari Instagram BI @bank_indonesia, Kamis (24/10/2024) lalu.
Kebijakan tersebut tentu akan memiliki dampak positif maupun dampak negatif terhadap perekonomian Indonesia. Dengan adanya kebijakan ini dapat meningkatkan daya beli masyarakat terhadap properti dan kendaraan bermotor sehingga mendorong sektor properti dan otomotif.
Dengan meningkatnya penjualan, sektor ini bisa menyerap lebih banyak tenaga kerja dan menggerakkan sektor-sektor pendukung lainnya, seperti bahan bangunan, transportasi, dan logistik. Bank dan lembaga pembiayaan dapat meningkatkan portofolio kredit/pembiayaan mereka, terutama di sektor properti dan otomotif.
Hal ini memberikan peluang bagi bank untuk memperoleh pendapatan lebih besar dari bunga kredit/margin pembiayaan. Sedangkan bagi masyarakat yang selama ini kesulitan membayar uang muka, kebijakan ini memberi kesempatan lebih luas untuk memiliki rumah dan kendaraan, terutama bagi masyarakat kelas menengah-bawah.
Kebijakan ini juga berfungsi sebagai stimulus untuk mempercepat pemulihan ekonomi pasca-pandemi, karena dengan meningkatnya konsumsi, perekonomian diharapkan menjadi lebih dinamis.
Namun dengan adanya kebijakan DP 0%, masyarakat yang sebenarnya tidak memiliki kemampuan keuangan cukup bisa lebih mudah mendapatkan kredit atau pembiayaan. Hal ini bisa meningkatkan risiko kredit bermasalah (non-performing loan/NPL) di perbankan. Bila tidak dikendalikan dengan baik, risiko kredit macet ini bisa berimbas pada stabilitas perbankan.
Di sisi lain, peningkatan permintaan akibat kemudahan DP 0% bisa menyebabkan harga properti dan kendaraan naik. Kenaikan ini bisa membuat properti semakin sulit dijangkau oleh kalangan berpenghasilan rendah dalam jangka panjang, meskipun dalam jangka pendek mereka bisa membeli dengan cicilan tanpa DP.
Kebijakan ini juga bisa membuat masyarakat, terutama generasi muda, terdorong untuk memiliki aset dengan cicilan yang belum tentu sesuai kemampuan mereka. Hal ini berpotensi meningkatkan utang rumah tangga, yang dalam jangka panjang bisa membebani kondisi keuangan mereka.
Dan jika kredit tanpa DP ini menyebabkan terlalu banyak utang konsumtif di masyarakat, maka dalam kondisi krisis atau penurunan ekonomi, dampaknya dapat mengganggu stabilitas perekonomian secara keseluruhan. Dampak negatif lainnya, dengan adanya dorongan besar pada sektor properti dan otomotif, kebijakan ini mungkin mengalihkan investasi masyarakat dari sektor lain yang juga membutuhkan perhatian, seperti pendidikan atau bisnis baru.
Secara umum, sektor perbankan akan menyambut baik karena kebijakan ini memberikan peluang ekspansi kredit. Namun, mereka harus meningkatkan sistem manajemen risiko untuk mengurangi kemungkinan NPL/NPF.
Sedangkan bagi konsumen yang sulit mengumpulkan dana untuk DP, kebijakan ini adalah peluang baik. Namun, mereka harus bijak dalam menilai kemampuan finansial mereka agar tidak terjebak dalam utang jangka panjang.
Di sisi lain, para pengembang properti dan produsen kendaraan tentu diuntungkan karena peningkatan daya beli masyarakat berpotensi meningkatkan penjualan mereka secara signifikan. Sementara beberapa ekonom melihat kebijakan ini positif sebagai stimulus ekonomi, lainnya mungkin mengkhawatirkan risiko ketidakseimbangan ekonomi dan potensi penggelembungan (bubble) di sektor properti dan otomotif.
Beberapa masukan untuk kebijakan ini diantaranya Bank dan lembaga pembiayaan perlu memperketat proses penilaian kredit, termasuk melakukan penilaian menyeluruh terhadap kemampuan keuangan calon peminjam.
Ini dapat dilakukan dengan mengecek riwayat kredit, pendapatan, dan semua pengeluaran calon peminjam. Selain itu Otoritas Jasa Keuangan (OJK) dan Bank Indonesia dapat memberikan panduan yang lebih ketat bagi bank dalam menyalurkan kredit DP 0%.
Pengawasan berkala dan audit bisa diterapkan untuk memastikan bank mematuhi standar risiko kredit yang baik.
Penting juga bagi masyarakat untuk memahami risiko utang dan kemampuan keuangan mereka sendiri sebelum mengambil kredit tanpa DP. Bank dan lembaga keuangan bisa memberikan edukasi literasi keuangan yang berfokus pada kemampuan manajemen keuangan pribadi. Disamping itu bank dapat menyediakan simulasi kredit yang komprehensif agar calon peminjam memahami beban bulanan dan total pembayaran kredit mereka. Dengan memahami gambaran keuangan jangka panjang, konsumen bisa lebih berhati-hati.
Bank dapat menargetkan pemberian kredit tanpa DP kepada konsumen dengan profil risiko rendah atau dengan riwayat kredit yang baik. Konsumen dengan pendapatan tertentu atau yang sudah memiliki kredit bisa dibatasi agar tidak terjebak dalam utang yang berlebihan. Pemerintah bisa juga mempertimbangkan batasan minimum DP untuk properti atau kendaraan dengan harga tinggi. Hal ini untuk mencegah spekulasi dan pembelian konsumtif yang tidak produktif.
Untuk mengimbangi sektor properti dan otomotif, pemerintah dapat memberikan insentif pada sektor lain seperti UMKM, infrastruktur, atau sektor hijau yang mendukung keberlanjutan ekonomi. Insentif ini bisa berupa pembebasan pajak atau subsidi bunga bagi yang berinvestasi pada sektor produktif. Disamping itu, masyarakat juga perlu didorong untuk berinvestasi pada sektor yang berdampak positif jangka panjang seperti energi terbarukan, pendidikan, dan teknologi.
Untuk mencegah kenaikan harga yang tidak wajar, pemerintah dan OJK dapat menerapkan kebijakan kontrol harga pada properti dan kendaraan melalui aturan seperti batas harga properti sesuai wilayah atau aturan margin harga untuk kendaraan baru. Dengan adanya kebijakan DP 0% sebaiknya diterapkan hanya untuk pembelian properti pertama. Pembeli yang memiliki lebih dari satu properti dapat dikenai pajak yang lebih tinggi atau diharuskan membayar DP agar tidak terjadi spekulasi di pasar properti.
BI dan OJK dapat bekerja sama dengan perbankan untuk memantau perkembangan kredit secara berkala, terutama di sektor properti dan otomotif. Jika terjadi lonjakan kredit/pembiayaan bermasalah, kebijakan ini bisa segera dievaluasi.
Kebijakan DP 0% ini sebaiknya diadakan untuk periode tertentu dan dievaluasi dampaknya. Jika terbukti mendatangkan risiko yang terlalu besar, BI bisa menyesuaikan atau mengakhiri kebijakan ini.
Selain itu. Pemerintah, BI, dan OJK dapat bekerja sama dalam membuat regulasi yang lebih komprehensif untuk mengelola kredit dan memperluas peluang pertumbuhan ekonomi secara berkelanjutan.
Sinergi ini akan mempermudah pelaksanaan kebijakan yang mendukung stabilitas ekonomi dan pengelolaan kredit yang lebih baik. Kolaborasi lintas instansi memungkinkan pemantauan yang lebih baik terhadap perkembangan harga dan pertumbuhan sektor properti serta otomotif. Pemantauan ini memastikan kebijakan tidak menimbulkan inflasi yang merugikan.(Penulis Dedy Mainata, Dosen Fakultas Ekonomi dan Bisnis Islam pada Universitas Islam Negeri Sultan Aji Muhammad Idris (UINSI) Samarinda)

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

No More Posts Available.

No more pages to load.