Mudahnya Bekerja Pakai AI, Awas Bahaya Mengintai

oleh -109 views
Ilustrasi AI

KEHADIRAN kecerdasan buatan (artificial intelligence/AI) generatif yang semula dijanjikan dapat mempercepat dan memudahkan pekerjaan, kini justru menimbulkan persoalan baru. Alih-alih meningkatkan efisiensi, banjir konten hasil AI seperti ChatGPT atau Gemini dinilai menjadi beban tambahan bagi pekerja. Fenomena ini dikenal dengan istilah workslop, gabungan kata work (pekerjaan) dan slop (sampah). Istilah tersebut dipakai untuk menggambarkan ledakan konten dangkal yang membebani alur kerja organisasi.

Seperti yang dikutip dari Kompas.com, bahwa hasil dari riset Harvard Business Review (HBR) bersama Stanford dan BetterUp menunjukkan, masalah utama bukan lagi kekurangan informasi, melainkan sebaliknya, terlalu banyak informasi yang minim nilai.

Dari luar, dokumen yang dihasilkan AI sering tampak rapi dan menjanjikan. Tetapi begitu dibuka, pembacanya dibuat mengernyit. Puber AI dan Etika Digital Artikel Kompas.id Puber AI dan Etika Digital

“Apa, sih, maksudnya?” menjadi pertanyaan pertama, sebelum akhirnya pembaca mengutuk waktu yang terbuang hanya untuk memahami maksud sebenarnya. Fenomena ini bukan sekadar cerita sepele di meja kerja.

Penelitian dari Stanford Social Media Lab dan BetterUp Labs menyebutkan, 40 persen pekerja profesional di Amerika Serikat mengaku pernah menerima konten seperti itu dalam sebulan terakhir. Kondisi inilah, yang disebut para peneliti, sebagai workslop.

Berbeda dari kekhawatiran lama tentang mesin yang menggantikan manusia, workslop justru menandai era ketika mesin digunakan manusia untuk “melempar” pekerjaan, dan beban kognitifnya, kepada rekan kerja. Dokumen hasil AI kerap tampak rapi di permukaan, tetapi miskin konteks dan menambah beban kognitif rekan kerja. Setiap kasus workslop menghabiskan satu hingga dua jam untuk diperbaiki atau ditulis ulang. Jika ditotal, perusahaan dengan 10.000 karyawan berpotensi kehilangan lebih dari 9 juta dollar AS per tahun akibat “limbah digital” ini.

Kondisi ini memperlihatkan dua dampak besar. Pertama, waktu kerja terbuang untuk memilah dan memverifikasi informasi. Kedua, kualitas keputusan melemah karena data yang dipakai sering dangkal atau bias.

Selain menurunkan produktivitas, workslop juga memicu kelelahan mental. Karyawan merasa terbebani ekspektasi agar selalu cepat menanggapi arus informasi, meskipun sebagian besar tidak berguna. Survei Stanford–BetterUp menunjukkan, satu dari tiga responden enggan bekerja sama dengan rekan yang kerap mengirim konten workslop. Hal ini mengikis kepercayaan, merusak kolaborasi, dan melemahkan etos kerja tim.

“Seperti membaca makalah mahasiswa tingkat awal setiap hari. Panjang, tapi isinya tipis,” ujar seorang analis keuangan yang diwawancarai peneliti. Laporan HBR menekankan, dampak terbesar workslop adalah turunnya produktivitas sistemik. Meski jumlah dokumen, memo, dan presentasi meningkat, kualitas keputusan tidak bertambah baik. “Volume konten tidak otomatis berarti kualitas. Tanpa kurasi, organisasi hanya menukar efisiensi dengan banjir informasi,” demikian catatan HBR.

Fenomena ini menandai pergeseran tantangan organisasi modern. Jika pada dekade lalu fokus utama adalah mempercepat akses informasi, kini tantangannya memastikan kualitas informasi untuk pengambilan keputusan.

AI generatif membawa kekuatan besar, tetapi tanpa kendali ia juga menghasilkan residu dalam jumlah sama besar. Dalam jangka panjang, hal ini merusak daya saing. Organisasi sibuk dengan tumpukan “sampah digital”, sementara pesaing yang lebih selektif bisa melangkah lebih jauh.

Para pakar menilai solusi awal terletak pada kurasi internal dan literasi digital. Setiap dokumen hasil AI perlu diverifikasi manusia sebelum dipakai dalam rapat strategis. Standar kualitas juga harus ditegakkan agar AI berfungsi sebagai asisten, bukan beban. “Volume konten tidak otomatis berarti kualitas. Tanpa kurasi, organisasi hanya menukar efisiensi dengan banjir informasi,” tulis HBR.

Perdebatan tentang manfaat dan risiko AI generatif masih panjang. Namun, satu hal yang jelas, volume semata tak bisa dijadikan tolok ukur produktivitas. Organisasi yang ingin bertahan perlu melampaui euforia “lebih banyak, lebih cepat”.

Yang dibutuhkan justru kebijaksanaan memilih dan menyaring. Tanpa itu, janji efisiensi AI bisa berubah menjadi jebakan. Pekerja bukan terbebas dari tugas rutin, melainkan tenggelam dalam lautan konten yang tampak canggih, tetapi sesungguhnya hampa.

(*/hel)

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

No More Posts Available.

No more pages to load.