TANJUNG REDEB,DIMENSINEWS – Kepala Dinas Pengendalian Penduduk dan Keluarga Berencana, Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (DPPKBP3A) Kabupaten Berau, Rabiatul Islamiah, menekankan pentingnya edukasi dan kesadaran masyarakat untuk melapor jika terjadi kekerasan terhadap perempuan dan anak.
Dalam keterangannya, Selasa (17/6/2025) kemarin, Rabiatul menjelaskan bahwa berbagai bentuk dukungan terhadap korban telah dijalankan oleh pemerintah melalui Unit Pelaksana Teknis Perlindungan Perempuan dan Anak (UPT PPA), mulai dari pendampingan psikologis, sosial, hingga hukum.
Kolaborasi PATBM dan UPT PPA
Rabiatul menyoroti peran strategis aktivis Perlindungan Anak Terpadu Berbasis Masyarakat (PATBM), pelopor dan pelapor (2P), serta relawan SAPA dalam menjangkau dan menginformasikan kejadian di lapangan. Ia berharap kolaborasi antara aktivis di kampung dengan kecamatan serta aparat seperti kepolisian bisa terjalin lebih kuat.
“Ketika aktivis di kampung melaporkan adanya kasus kekerasan, kami segera melakukan penjangkauan untuk pendampingan. Jika perlu, korban bisa menginap di rumah aman milik UPT PPA,” jelasnya.
Edukasi Publik Lewat Medsos dan Tokoh Masyarakat
Rabiatul menambahkan bahwa edukasi kepada masyarakat menjadi bagian penting dari upaya perlindungan ini. Ia mengajak semua pihak, termasuk media sosial, tokoh agama, dan aparat, agar turut menyebarkan informasi yang membangun kesadaran publik.
“Jangan hanya memberitakan kasus, tapi media sosial juga harus bisa menjadi ruang edukatif bagi masyarakat. Ini tugas bersama,” tegasnya.
DPPKBP3A Berikan Pendampingan Psikologis Berkelanjutan
DPPKBP3A, lanjut Rabiatul, memberikan pendampingan psikologis langsung melalui tenaga profesional. Evaluasi secara berkala dilakukan untuk memastikan korban dapat kembali hidup bermasyarakat tanpa trauma.
“Korban harus didukung agar tidak merasa terasing atau dicemooh. Edukasi ini penting agar masyarakat bisa menerima mereka kembali dengan empati, bukan stigma,” ujarnya.
Ia juga menekankan bahwa pemulihan korban bukan hanya soal fisik atau hukum, tetapi juga pemulihan batin agar mereka mampu melanjutkan hidup dengan lebih baik.
“Kita ingin mereka tidak merasa berbeda. Mereka tetap punya hak yang sama untuk dihargai dan diterima. Itu yang terus kami iringi,” tutup Rabiatul.
(ton/esf)